Quality : R3
Info : imdb.com/title/tt0381341
Lihat : Trailer
Starring : Nicole Rayburn, Drew Wicks
Genre : Comedy
Uploader by jamurkuping
Download File
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
Sampai disini, saya bisa leluasa masuk dengan informasi akun yang saya dapatkan dari file wonosobokab.SQL. Halaman Site Administrator terbuka dengan ikhlas, lengkap dengan semua fitur yang dimilikinya. Wah, ada logonya sapa tuch ternyata dihosting disitu yach ^^ Ternyata nama besar belum tentu bisa menghadirkan layanan yang berkualitas
PERCAYA atau tidak, saat ini kopi gayo telah menjadi ikon kopi berkualitas cita rasa terbaik. Semua pecandu kopi di Aceh tentunya tak akan menyangkal pernyataan itu. Tapi asal tahu saja, kemasyhuran kopi Gayo juga sudah menyebar ke dunia internasional, ditandai dengan masuknya Star Buck, produsen kopi yang telah dikenal seantero dunia.
Perlu diingat, ini kopi Gayo, bukan kopi Pemerintah Daerah Gayo, karena hingga saat ini tak ada satupun kebun kopi milik pemerintah yang dikelola secara profesional dan menjadi contoh bagi rakyat. Tidak ada sama sekali.
Meski tak ada perhatian dari pemerintah, bukan berarti kualitas kopi yang dihasilkan oleh para petani menurun. Awal Oktober lalu, untuk menjawab penasaran tentang kopi Gayo, atas permintaan Star Buck, telah dilakukan suatu penelitian tentang kopi Gayo, di beberapa kecamatan di Aceh Tengah.
Dilakukan oleh LSM Bitra dan IFC, selama dua pekan, penelitian berusaha menjawab tentang pola bertani, hasil, jenis kopi, kontinuitas, dan sejumlah penelitian lain dalam bentuk Baseline Survei Petani Kopi 2009.
Kita kecolongan
Selain Star Buck, ada juga berbagai perusahaan asing yang masuk dan menggandeng koperasi lokal atau mitra lokal lainnya untuk mengeksport kopi Gayo. Kebanyakan kopi yang diekspor diberi label “Kopi Organik”
Kenapa kopi gayo banyak diminati asing? Ada yang menyebutkan, rasa kopi Gayo melebihi cita rasa kopi Blue Montain asal Brazil. Mungkin, alasan inilah yang membuat sebuah perusahaan Belanda nekat mempatenkan nama Kopi Gayo di negaranya sebagai merek miliknya.
Dengan dipatenkan kopi Gayo oleh perusahaan Belanda ini, kopi gayo tidak bisa lagi diekspor keluar negeri memakai merek “Kopi Gayo”. Sementara jika tidak memakai merek “Kopi Gayo”, harga jual akan lebih rendah. Dan secara geografis kopi gayo memang terletak di sepanjang wilayah Dataran Tinggi Gayo yang meliputi tiga kabupaten, Takengon, BenerMeriah dan Gayo Lues.
Petani kopi kecolongan. Bagaimana bisa, kopi yang mereka usahakan selama bertahun-tahun di tengah berbagai Asosiasi Kopi Aceh dan retribusi yang selalu dipungut pemda, kini hak paten itu telah dimiliki oleh orang lain di seberang benua.
Lantas apa saja kerja para pengusaha kopi, pemda, Asosiasi pengusaha daerah (Aped), atau kelompok– kelompok yang mengambil keuntungan dari menjadi asosiasi kopi tapi, sesungguhnya tidak berbuat apa–apa. Atau mereka dari seabrek nama lain yang seolah-olah berpihak pada petani kopi.
Rakyat kecolongan, pengusaha, Pemda Aceh dan Indonesia patut berduka atas “musibah” ini.
Saky Septiono dari Direktorat Merek Dirjen HAKI Dephum dan HAM, beberapa waktu lalu pernah menyebutkan, sebenarnya masih ada peluang untuk mendapatkannya kembali paten kopi rakyat gayo tersebut. Kopi Gayo tidak bisa didaftarkan sebagai merek dagang perusahaan tertentu seperti yang dilakukan pengusaha Belanda, karena merupakan Indikasi Geografis (IG) di Indonesia. Karena itu pemerintah Indonesia berusaha membatalkan pendaftaran merek secara internasional itu dengan mengacu pada Trade Relative Aspects of Intellectual Property.
Sebenarnya bukan cuma perusahaan Belanda yang ingin memiliki merek kopi Gayo. Sejumlah warga Gayo pun banyak yang mencoba mendaftarkan merek kopi Gayo ke Dephumkan RI secara perorangan, namun tidak dipenuhi. Karena sertifikat IG hanya boleh dimiliki oleh masyarakat Gayo, bukan perseorangan, lembaga, perusahaan, atau institusi lain.
Kopi bagi masyarakat Dataran Tinggi Gayo sudah seperti “nyawa dan tubuh”, tidak terpisahkan. Jika kita bertanya kepada para pejabat di Aceh Tengah dan Bener Meriah yang kini jadi penguasa dan dipercaya “mengelola” uang rakyat lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK), yang jumlahnya ratusan milyar, mereka semua pasti tahu kopi.
Bahkan, para pejabat itu mungkin kuliah dengan uang yang bersumber dari hasil panen kopi orang tua mereka. Seperti kebanyakan penduduk Aceh Tengah. Maman ilang maman ijo, beta pudaha, beta besilo.
Pepatah gayo tersebut tampaknya cocok dengan fakta kekinian tentang kopi. Di jaman penjajahan Belanda, perkebunan kopi jauh terkelola dengan baik dan professional dibandingkan saat ini. Betapa tidak, Belanda menjadikan kopi yang diproduksi pertama kali tahun 1905 kemudian ditanam di bagian utara Danau Laut Tawar pada tahun 1908, sebagai “Product for future”
Di tahun 1924 Belanda dan investor Eropa telah memulai menjadikan lahan didominasi tanaman kopi, teh dan sayuran (John R Bowen, Sumatran Politics and Poetics, Gayo History 1900-1989, halaman76).
Kemudian, pada Tahun 1933, di Takengon, 13.000 hektar lahan sudah ditanami kopi yang disebut Belanda sebagai komoditas “Product for future”. Masyarakat gayo, tulis John R Bowen, sangat cepat menerima (mengadopsi) tanaman baru dan menanaminya di lahan-lahan terbatas warga. Perkampungan baru di era tersebut, terutama di sepanjang jalan dibersihkan untuk ditanami kopi kualitas ekspor. Tahun 1920 Belanda mulai membawa tenaga kerja kontrak dari Jawa ke Gayo, untuk menjadi pekerja di perusahaan dammar (pinus mercusi).
Jika 104 tahun lalu Belanda sudah mengelola kopi dengan baik hingga bisa diekspor Eropa dan dijadikan komoditas unggulan dengan sebutan “Produk Masa Depan”, kini kopi Gayo memasuki masa paling suram dari sejarahnya. Bayangkan saja, kopi di dataran tinggi Gayo kini hanya dikelola oleh masyarakat sendiri. Disebut dengan perkebunan kopi rakyat, yang belum dikelola secara baik dan benar seperti dilakukan Pemerintah Belanda di jaman penjajahan.
Zainuddin, penduduk Wih Pesam Kecamatan Silih Nara Takengon. Sebagai petani kopo ia mengaku tak pernah sekalipun mendapat penyuluhan tentang bagaimana bertanam kopi yang baik, kecuali hanya mendengar, melihat, dan langsung mempraktekkan sendiri di kopi.
Sebagai ketua kelompok tani dari perusahaan asing Indocafco, Zainuddin merasa perhatian pemerintah maupun eksportir kopi terhadap petani tidak ada. Hetani hanya menjadi “sapi perahan” pemerintah dan eksportir, tapi keuntungan bagi petani tidak ada.
“Setingkat pelatihan saja untuk bertani kopi yang baik saja tidak pernah diajarkan. Konon lagi ada penyuluh perkebunan”, kata zainuddin. Karena pendapatan yang didapat sebagai petani kopi tidak seberapa, ia harus mencari kerjaan tambahan lainnya, misalnya sebagai kuli tani. Kini, Zainuddin juga menjadi pembeli kopi kecil-kecilan.
“Sebelum membeli kopi, anak saya yang kuliah terpaksa berhenti karena tidak ada biaya”, kata Zainuddin.
Kebanyakan petani kopi Aceh Tengah sangat minim pengetahuan tentang bercocok tanam kopi, perawatan, panen, paska panen. Konon lagi untuk memanagemen penjual dan penghasilan dari menjual kopi.
Pemda khususnya, Dinas Perkebunan tak ada perannya untuk memajukan petani kopi. Hanya mengambil retribusi dari pengusaha yang membawa setiap kilo kopi keluar daerah, dan inilah yang saat ini menjadi andalan PAD terbesar.
Penderitaan itu diperparah toke, baik toke besar dan kecil, karena seringkali kopi warga diambil atau dibeli toke dengan diutangkan dulu. Setelah toke pulang dari Medan menjual kopinya, barulah uang kopi petani dibayarkan. Pembayaran kopi bisa jadi sebulan kemudian.
Pengusaha asing yang menjual kalimat sakti “Kopi Organik’ di pasar dunia tentu akan mendapat pasar tersendiri dan mendapat fee organic dari berbagai asosiasi dunia. Tapi bagi petani yang tergabung dalam anggota petani organik dari eksportir kopi asing tersebut, ternyata tidak mendapat apa-apa, kecuali nama kelompok tani mereka dijual keluar negeri, bahwa sang eksportir punya anggota binaan.
“Kami tidak menerima fee organic yang katanya dibayarkan setiap enam bulan sekali. Dulu ada diberikan eksportir kopi alat-alat pertanian, seperti alas jemur dan lain-lain. Tapi kini tidak pernah lagi. Tidak ada untungnya menjadi anggota kelompok tani organik, kecuali kekecewaan dan janji kosong saja,” kata Zainuddin, salah seorang ketua kelompok tani organik.
Referensi :
Bahkan rumah dan kebun Tengku Ibrahim yang terletak di Jaluk setiap hari ramai dikunjungi petani dari antero Takengon dan Bener Meriah mencari bibit kopi Ateng yang sudah berbuah di usia 1 tahun dengan tinggi batang kurang dari satu meter.
Kopi Ateng Jaluk bahkan dibawa ke , Jawa, Sumatera , Kalimantan hingga ke Belgia. Itulah sepenggal kisah tenarnya Tengku Ibrahim Aman Samsir, lelaki berperawakan kecil, berkulit gelap dan murah senyum.Orang yang pertama sekali menemukan sebuah varitas kopi yang berbuah di usia satu tahun dengan jumlah buah yang melimpah dan batangnya pendek. Kopi ini kemudian diberi nama Ateng Jaluk, dari jenis Arabika atau Catimor Jaluk. Sejak tahun 1980 hingga kini.
Tidak sulit mencari Tengku Ibrahim Aman Samsir di Kampung Jaluk. Dia sudah sepuh (tua). Badannya kurus. Tapi ingatannya masih kuat. Nada bicaranya jelas dan suka melucu.Saat tertawa, matanya mengecil , hidungnya tampak semakin mancung, gusinya terlihat kosong, sepeti gusi bayi. Giginya sudah tanggal .
Kerut-kerut diwajahnya tergambar jelas. Rahangnya menonjol .Tampak dia seorang pekerja keras. Kulitnya legam dibakar matahari. Tapi senyum dan tawanya lepas tanpa beban.
Walau kulitnya hitam, tampak bersih dan meneduhkan. Dari kalimatnya, tampak sekali Tengku Ibrahim dekat dengan Sang Khaliq. Saat saya dan Khalisuddin menjambangi rumah sederhananya, Minggu (8/11). Rumahnya terbuat dari papan seperti rumah petani kebanyakan yang sangat sederhana. Berukuran sekitar lima kali sepuluh meter.
Tidak ada peralatan mewah, kecuali sebuah kenderaan roda dua yang sudah tua mereka Honda. Di ruang tamu tampak sebuah tempat tidur tanpa kasur. Kami duduk di sofa tua. Tengku Ibrahim ditemani seorang dari 15 cucunya bernama Yusuf berusia sekitar enam tahun yang menggantungkan ketapel di lehernya.
Setelah membalas salam dan bersalaman. Kami memperkenalkan diri. Tengku Ibrahim Aman Samsir mengenakan selop Setelah membalas salam dan bersalaman. Kami memperkenalkan diri. Tengku Ibrahim Aman Samsir mengenakan selop merek Lily, sandal pavorit orang tua. Berwarna biru. Berbahan plastic dengan dua tali.
Bajunya, baju koko yang dilipat hingga dibawah siku dan memakai sarung. Di kepalanya sebuah kopiah berwarna hitam berbahan beludru tampak tak lekang meski sudah tampak lusuh.
Sambil mengeluarkan plastic putih ukuran satu ons dari kantungnya yang berisi tembakau dan daun nipah, Tengku Ibrahim Aman Samsir, memulai kisah penemuan kopi Ateng Jaluk yang telah mengantarkan puluhan atau bahkan ratusan petani kopi ke Mekah menunaikan rukun Islam kelima.Tapi Tengku Ibrahim Aman Samsir belum haji, meski sangat memimpikannya.
Menurut Tengku Ibrahim Aman Samsir, penemuan varitas kopi Ateng Jaluk terjadi secara tidak sengaja. Di tahun 1980, Dinas Perkebunan membuat pembibitan kopi Tim-tim di Simpang Juli Angkup.
“Pak Wahab, pegawai Dinas Perkebunan membagikan bibit kopi Tim-tim kepada petani di Jaluk. Jumlahnya 2000 batang untuk satu hektar. Sebelum bibit Tim-tim dibagikan, petani sudah menanami kebunnya dengan kopi arabika yang berasal dari Burni Bius dan Belang Gele”, ujar Tengku Ibrahim Aman Samsir seraya menarik asap rokoknya dalam-dalam.
Saat mengisap rokok, pipinya tampak peot dan tulang rahangnya semakin menonjol. Setelah kopi yang dibagikan Disbun berumur dua tahun, disalah satu bagian kebunnya yang tidak jauh dari rumahnya di pinggir jalan Buntul Jaluk, Tengku Ibrahim melihat sebuah batang kopi yang berbeda dengan kopi lainnya.
“Batangnya pendek, sudah berbuah. Dengan jumlah buah yang banyak dan rapat setiap tungkunya. Seperti buah kopi Robusta”, kata Tengku Ibrahim Aman Samsir. Karena merasa kopi tersebut luar biasa dan berbeda dengan varitas kopi yang telah ada selama ini dimana usia tiga tahun kopi baru berbuah, Tengku Ibrahim Aman Samsir coba mengambil buah kopi yang masak.
“Awalnya saya kira buahnya yang masak tidak berbiji. Tapi ternyata bijinya normal seperti kopi lainnya”, papar Bapak dari Samsir, Narmi, Gazali, Zamli dan M Jamil ini.Tengku Ibrahim Aman Samsir .
Tengku Ibrahim Aman Samsir masih merahasiakan penemuan kopi yang dianggapnya unggul tersebut. Setelah memetik buah kopi yang masak. Suami dari Aisyah yang kini sudah wafat ini, coba menyemainya langsung didekat kopi Ateng yang pertama sekali ditemukannya itu.
“Biji kopi Ateng yang saya semai itu tumbuh normal namun habis diseruduk babi yang mencari cacing disana. Saat itu saya berada di Ketol menunggui buah durian yang sedang berbuah”, sebut Tengku Ibrahim Aman Samsir.
Tidak putus asa, Tengku Ibrahim Aman Samsir kembali menyemai buah kopi dari batang kopi Ateng yang saat itu masih sebatang saja. Setelah bibit kopi tumbuh, mulailah warga sekitar Kampung Buntul Jaluk meminta bibit kopi yang dianggap luar biasa tersebut.
“Ada yang hanya minta dua bibit, lima batang bibit hingga seratus batang. Di tahun 1987, informasi tentang kopi Ateng Jaluk sudah tersebar luas”, papar Tengku Ibrahim Aman Samsir.
“Nama kopi Ateng diberikan warga yang datang meminta bibit. Karena masih kecil sudah berbuah, orang menyebutnya Kopi Ateng Jaluk”, kenang Ibrahim Aman Samsir tentang nama “Kopi Ateng Jaluk” yang kemudian menjadi nama yang dipakai untuk kopi ini hingga saat ini.
Ditahun 1988, hampir semua pekebun kopi Aceh Tengah dan Bener Meriah sudah menanam kopi Ateng Jaluk. Ada kisah menarik yang diceritakan Ibrahim Aman Samsir. Seorang warga yang telah meminta bibit kopi Ateng mengadu kepada Ibrahim Aman Samsir. Benih kopi Ateng Jaluk yang disemai di bedengan di kebun warga tersebut, hilang dicuri orang.
Dengan kemurahan hatinya, Tengku Ibrahim Aman Samsir mengganti bibit warga yang dicuri orang tersebut seraya berkata, “ yang dicuri orang itu punya saya. Ini saya berikan gantinya”, kata Tengku Ibrahim Aman Sasir sambil tertawa lepas.
Warga atau petani yang terus mendatangi rumah dan kebunnya untuk mencari bibit kopi Ateng Jaluk kala itu menghargai sendiri bibit kopi Ateng yang dimiliki Tengku Ibrahi Aman Samsir dalam bentuk biji.
“Warga sendiri yang menghargai perbambu kopi Ateng untuk bibit Rp.25 ribu. Saya tidak pernah mematok harganya. Terserah keikhlasan. Banyak juga yang tidak memiliki uang tapi bibit kopi tetap saya berikan”, ujar Tengku Ibrahim Aman Samsir.
Dalam kesederhanaanya, Tengku Ibrahim Aman Samsir tidak lantas lupa diri. Dia biasa saja. Perubahan ekonomi secara drastic tidak tampak pada Tengku Ibrahim Aman Samsir. Kebanyakan kopi Ateng Jaluk yang ditemukan dan dikembangkannya , kebanyakan memang diminta petani sepertinya tanpa patokan harga atau jual beli.
Seiring perjalanan waktu dan perkembangan penyebaran kopi Ateng Jaluk diantero Dataran Tinggi Gayo, Takengon, Bener Meriah dan Gayo Lues, tetangga Tengku Ibrahim Aman Samsir kerap bercerita kepadanya yang menceritakan kopi Ateng Jaluk temuan Tengku Ibrahim Aman Samsir yang dinilai sangat membantu petani karena setahun sudah panen.
‘Ada warga atau petani yang mengucapkan rasa terima kasihnya kepada saya dan berpamitan naik haji dari kebun kopi Ateng yang mereka tanam.”Allah yang mengembangkannya. Tidak bisa kita batasi”, sebut Tengku Ibrahim Aman Samsir sambil tersenyum lepas.
Dijelaskan Tengku Ibrahim Aman Samsir, berdasarkan pengalamannya menanam kopi Ateng, kopi Ateng sebaiknya ditanam tidak lebih dari 10 tahun saja. Dengan jarak tanam 1 X 1 meter. Kemudian diganti lagi dengan tanaman baru. “Jika lebih dari 10 tahun, buahnya tetap banyak namun lebih kecil bijinya”, papar Tengku Ibrahim Aman Samsir.
Karena berusia setahun sudah panen, menurut Tengku Ibrahim Aman Samsir, banyak petani kopi yang mampu membayar hutang dengan menanam Kopi Ateng Jaluk.Umumnya kopi ini ditanam di bukaan lahan kopi yang baru ditebang (hutan) atau dibekas hutan yang sudah ditebang lama yang sudah ditumbuhi rumput atau ilalang (tamas mude).
Jika selama ini berbagai varitas kopi yang ditanam petani umumnya baru mulai berbuah setelah ditanam tiga tahun. Hadirnya kopi Ateng Jaluk yang tumbuh ditanah kebun Tengku Ibrahim Aman Samsir yang kemudian diperbanyak dan disebarnya, telah membuat petani dapat menghasilkan uang dari kopi tidak lebih dari setahun.
Jauh hari sebelum Tengku Ibrahim menemukan kopi Ateng Jaluk. Suatu ketika saat berada di kebun kopinya yang sebagian ditanam kopi Robusta sedang berbuah lebat. Tengku Ibrahim melihat buah kopi Robusta yang tiap ruasnya dipenuhi puluhan buah kopi dengan jarak tungku yang rapat.
“Ah , seandainya ada kopi arabika yang berbuah seperti kopi robusta, petani pasti lebih sejahtera” guman Tengku Ibrahi seolah berbicara pada dirinya sendiri seraya mengamati kopi Robusta.
“Tidak lama kemudian apa yang saya pikirkan diijabah Allah”, ungkap Tengku Ibrahim Aman Samsir. Meski berhasil mengembangkan kopi catimor Ateng Jaluk, Tengku Ibrahim Aman Samsir yang kini berusia 89 tahun, terlihat low profile dan sederhana sekali, seperti kebanyakan petani kopi yang masih miskin.
Atas semua usaha itu, Pemda pernah memberinya uang Rp.4 juta dan sebuah piagam penghargaan yang dikeluarkan Kepala Dinas Perkebunan. Itu saja , tidak lebih. Lelaki sepuh yang pernah menjadi tentara DI (Daru Islam) ini masih menyimpan obsesi menunaikan haji, rukun Islam kelima.
Tengku Ibrahim Aman Samsir mengantar kami ke batang kopi Ateng Jaluk pertama tumbuh di kebunnya , tidak jauh dari rumahnya. Persis di samping Mesjid Baitul Hikmah. Pohon Ateng Jaluk pertama tumbuh ini masih menghasilkan meski telah berusia 29 tahun. Kopi ini sudah ditumbuhi lumut.
Dan Tengku Ibrahim Aman Samsir masih menyimpan mimpi naik Haji. Adakah dermawan Aceh yang bisa mewujudkan mimpi petani pedalaman Aceh Tengah di Kampung Buntul Jaluk itu?, waktu jua yang menjawabnya. (win dan khalis)
Referensi : http://kenigayo.wordpress.com/
Beberapa kali saya dikejutkan dengan kasus error pada Printer Canon hal ini terjadi akibat kesalahan user maupun akibat arus listrik yang tidak bersahabat
Ok langsung aja untuk memperbaiki error 27 lakukan tahap dibawah ini :