Saat Sengeda menjinakkan gajah putih, dan menyerahkan kepada Sultan. Sengeda membongkar kejahatan Raja Linge XIV yang telah membunuh abangnya Bener Merie. Sultan Murka. .
Junus Djamil dalam bukunya yang berjudul “Gadjah Putih” yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh tahun 1959 di Kutaradja, antara lain telah menulis tentang “Riwajat asal usul
wudjudnya Gadjah Putih di Keradjaan Atjeh” yang berhubungan denganberdirinya Kerajaan Linge di daerah Gayo.
Sumber tulisan ini berasal dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesen dan dari Zainuddin yaitu raja dari Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di daerah Gayo Laut pada masa kolonial Belanda dahulu.Tahun 1025 di Gayo berdiri Kerajaan Linge pertama. Rajanya namanya “Kik Betul” atau “Kawee Teupat” menurut sebutan
orang Aceh pada masa berkuasanya Sultan Machuclum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak sekitar tahun 1012-1058.
Raja Linge ini mempunyai 4 orang anak, tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu
Beru, kemudian anaknya yang lain adalah Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga ketua adalah laki-laki. Sebayak Lingga berkelana ke daerah Karo dan membangun negeri di sana.
Meurah Johan mengembara ke daerah Aceh Besar dan juga membangun negeri di sana yang dikenal sebagai Lamkrak dan Lam Oeii (Lamoeri) sedang Meurah Lingga tetap tinggal di Linge yang selanjutnya menjadi Raja Linge turun-temurun.
500 tahun kemudian, sekitar tahun 1511, diketahui seorang raja keturunan Raja Linge yang dikenal “Gajah Putih dan Kerajaan Linge Di Gayo” sebagai Raja Linge ke XIII. Raja ini terkenal, karena selain kedudukannya di Tanah Gayo, ia juga orang penting di pusat Kerajaan Aceh.
Bukan itu saja ia juga orang penting di kerajaan Johor di semenanjung Tanah Melayu.
Saat Portugis merebut Kerajaan Malaka tahun 1511, Sultan Mahmud Syah dari Malaka terpaksa mengundurkan diri ke Kampar di daerah Sumatera. Keluarganya diungsikan ke Aceh Darussalam. Dalam keadaan yang sulit ini Kerajaan Aceh ikut membantu Raja Malaka tersebut.
Hubungan kerjasama ini berkembang demikian rupa hingga terjadi suatu perkawinan politik
antara Kraton Aceh dengan Kraton Malaka. Putra Sultan Malaka bernama Sultan Alaudin Mansyur Syah dinikahkan dengan seorang putri Kerajaan Aceh. Sebaliknya, seorang putri Sultan Malaka dikawinkan pula dengan seorang pembesar Kerajaan Aceh, ia adalah Raja Linge ke XIII yang duduk dalam staf Panglima Besar Angkatan Perang Aceh (Amirul Harb) sejak Sultan Aceh berjuang mengusir Portugis dari daerah Pase dan Aru.
Karena kedudukannya yang penting dalam Kerajaan Aceh, maka kedudukannya sebagai Raja Linge diserahkan kepada anaknya yang tertua menjadi Raja Linge XIV di Tanah Gayo. Tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru. Dipimpin oleh Sultan Alaudin Mansyur Syah. Raja Linge XIII duduk dalam Kabinet Kerajaan Johor ini sebagai wakil dari Kerajaan Aceh. Dalam rangka membangun dan mengembangkan Kerajaan Johor baru, di samping menghadapi kaum penjajah Portugis, Sultan Johor menugaskan Raja Linge XIII membangun pulau di Selat Malaka yang termasuk wilayah Kerajaan Johor yang dikenal kemudian sebagai “Pulau Lingga”.
Selama Raja Linge XIII membangun Pulau Lingga. Ia punya dua orang anak lelaki, bernama “Bener Merie” dan adiknya bernama “Sengeda”. Di Pulau Lingga ini kemudian Raja Linge XIII meninggal dunia. Setelah meninggalnya Raja Linge XIII, istrinya yang berasal dari Kraton Malaka itu, pindah ke Aceh Darussalam dengan membawa kedua anaknya yang masih kecil Bener Merie dan Sengeda. Ketika keduaduanya menginjak dewasa, barulah ibunya memberi tahukan asal keturunan ayahnya di Linge Tanah Gayo. Abangnya yang tertua menjadi Raja Linge XIV di negeri Linge menggantikan ayahnya.
Bener Merie dan Sengeda kemudian berangkat ke Tanah Gayo menemui abang dari ayahnya yaitu Raja Linge XIV. Malang nasib mereka, kedatangannya tidak diterima dengan baik oleh Raja Linge XIV, mereka dituduh telah membunuh ayahnya Raja Linge XIII. Kedua - duanya dijatuhi hukuman mati.
Bener Merie atas perintah Raja Linge XIV dibunuh, sedang pembunuhan Sengeda ditugaskan kepada Raja Cik Serule. Tetapi Raja Cik Serule tidak mau melaksanakan tugasnya, Sengeda disembunyikannya sehingga terlepas dari pembunuhan. Peristiwa ini terjadi pada masa Sultan
Aceh Alaidin Ria’yah II sedang berkuasa di Aceh tahun 1539-1571. Dalam suatu upacara di Kraton Aceh, yang dihadiri oleh seluruh raja-raja Aceh, Sultan memerintahkan kepada mereka untuk mencari “Gadjah Putih” yang dikabarkan terdapat di hutan-hutan Tanah Gayo, untuk dipersembahkan kepadanya.
Sultan akan memberikan hadiah kepada siapa yang menangkap dan menyerahkan gajah putih tersebut kepadanya. Walaupun dengan rasa kecewa Raja Linge XIV menyiapkan perutusan ke Darussalam untuk mempersembahkan gajah putih tersebut kepada Sultan. Dia tidak mengetahui bahwa yang menangkap gajah putih tersebut adalah Sengeda yang telah diperintahkannya untuk dibunuh. Upacara penyerahan gajah putih keadaan Sultan di Kraton Aceh, gajah putih yang semula direncanakan diserahkan oleh Raja Linge XIV kepada Sultan, gagal.. Gajah putih tersebut mengamuk, tidak mau dituntunnya. Sifatnya yang biasa jinak
telah berubah menjadi berang dan ganas, gajah putih mengejar-ngejar Raja Linge XIV. Raja ini hampir tewas saat gajah putih itu mengamuk.
Sengeda kemudian dapat menjinakkan gajah putih tersebut. Ia selanjutnya menyerahkannya kepada Sultan dengan tenang. Hal itu mengundang keheranan khalayak yang hadir. Sultan menanyakan apa rahasianya, saat didesak seperti itu, Sengeda terpaksa membongkar rahasia
kejahatan Raja Linge XIV yang telah membunuh abangnya Bener Merie. Mendengar keterangan Sengeda, Sultan murka. Ia segera memerintahkan menangkap Raja Linge XIV. Kemudian diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman mati.
Tetapi beruntung, bagi Raja Linge XIV, dia tidak jadi dihukum mati, karena ibu Sengeda dan Sengeda sendiri memberi maaf kepadanya di muka pengadilan, sehingga Sultan membatalkan hukuman mati tersebut. Hukumannya kemudian diperingan, ia diturunkan pangkatnya dan harus membayar Diyat atau semacam Denda. Setelah peristiwa gajah putih ini, Sultan mengangkat Sengeda menjadi Raja Linge ke XV menggantikan Raja Linge XIV yang khianat itu.
Kisah lain mengenai peristiwa “gajah putih” dan kisah “Sengeda” adalah versii yang ditulis seorang penyair Gayo bernama Ibrahim Daudi atau yang lebih terkenall Mude Kala dalam bentuk syair bahasa Gayo. Jalan ceritanya hampir sama. Namun, isinya jauh berbeda.
Perbedaan terpenting adalah, menurut tulisan M. Junus Djamil kisah “gajah putih” dan Sengeda
tersebut berhubungan dengan pengangkatan Sengeda menjadi Raja Linge XV, sedangkan kisah
dalam bentuk syair Gayo versi Mude Kala, kisah atau legenda gajah putih dan kisah Sengeda tersebut berhubungan dengan pembentukan “Kejurun Bukit” di Gayo Laut.
Menurut versi Mude Kala, karena jasanya menemukan gajah putih dan membongkar rahasia pembunuhan terhadap Bener Merie, maka Sengeda diangkat menjadi Raja Bukit pertama di Gayo Laut. Sengeda dianggap sebagai keturunan raja-raja Bukit selanjutnya.
Referensi : (Dari berbagai sumber)
Junus Djamil dalam bukunya yang berjudul “Gadjah Putih” yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh tahun 1959 di Kutaradja, antara lain telah menulis tentang “Riwajat asal usul
wudjudnya Gadjah Putih di Keradjaan Atjeh” yang berhubungan denganberdirinya Kerajaan Linge di daerah Gayo.
Sumber tulisan ini berasal dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesen dan dari Zainuddin yaitu raja dari Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di daerah Gayo Laut pada masa kolonial Belanda dahulu.Tahun 1025 di Gayo berdiri Kerajaan Linge pertama. Rajanya namanya “Kik Betul” atau “Kawee Teupat” menurut sebutan
orang Aceh pada masa berkuasanya Sultan Machuclum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak sekitar tahun 1012-1058.
Raja Linge ini mempunyai 4 orang anak, tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu
Beru, kemudian anaknya yang lain adalah Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga ketua adalah laki-laki. Sebayak Lingga berkelana ke daerah Karo dan membangun negeri di sana.
Meurah Johan mengembara ke daerah Aceh Besar dan juga membangun negeri di sana yang dikenal sebagai Lamkrak dan Lam Oeii (Lamoeri) sedang Meurah Lingga tetap tinggal di Linge yang selanjutnya menjadi Raja Linge turun-temurun.
500 tahun kemudian, sekitar tahun 1511, diketahui seorang raja keturunan Raja Linge yang dikenal “Gajah Putih dan Kerajaan Linge Di Gayo” sebagai Raja Linge ke XIII. Raja ini terkenal, karena selain kedudukannya di Tanah Gayo, ia juga orang penting di pusat Kerajaan Aceh.
Bukan itu saja ia juga orang penting di kerajaan Johor di semenanjung Tanah Melayu.
Saat Portugis merebut Kerajaan Malaka tahun 1511, Sultan Mahmud Syah dari Malaka terpaksa mengundurkan diri ke Kampar di daerah Sumatera. Keluarganya diungsikan ke Aceh Darussalam. Dalam keadaan yang sulit ini Kerajaan Aceh ikut membantu Raja Malaka tersebut.
Hubungan kerjasama ini berkembang demikian rupa hingga terjadi suatu perkawinan politik
antara Kraton Aceh dengan Kraton Malaka. Putra Sultan Malaka bernama Sultan Alaudin Mansyur Syah dinikahkan dengan seorang putri Kerajaan Aceh. Sebaliknya, seorang putri Sultan Malaka dikawinkan pula dengan seorang pembesar Kerajaan Aceh, ia adalah Raja Linge ke XIII yang duduk dalam staf Panglima Besar Angkatan Perang Aceh (Amirul Harb) sejak Sultan Aceh berjuang mengusir Portugis dari daerah Pase dan Aru.
Karena kedudukannya yang penting dalam Kerajaan Aceh, maka kedudukannya sebagai Raja Linge diserahkan kepada anaknya yang tertua menjadi Raja Linge XIV di Tanah Gayo. Tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru. Dipimpin oleh Sultan Alaudin Mansyur Syah. Raja Linge XIII duduk dalam Kabinet Kerajaan Johor ini sebagai wakil dari Kerajaan Aceh. Dalam rangka membangun dan mengembangkan Kerajaan Johor baru, di samping menghadapi kaum penjajah Portugis, Sultan Johor menugaskan Raja Linge XIII membangun pulau di Selat Malaka yang termasuk wilayah Kerajaan Johor yang dikenal kemudian sebagai “Pulau Lingga”.
Selama Raja Linge XIII membangun Pulau Lingga. Ia punya dua orang anak lelaki, bernama “Bener Merie” dan adiknya bernama “Sengeda”. Di Pulau Lingga ini kemudian Raja Linge XIII meninggal dunia. Setelah meninggalnya Raja Linge XIII, istrinya yang berasal dari Kraton Malaka itu, pindah ke Aceh Darussalam dengan membawa kedua anaknya yang masih kecil Bener Merie dan Sengeda. Ketika keduaduanya menginjak dewasa, barulah ibunya memberi tahukan asal keturunan ayahnya di Linge Tanah Gayo. Abangnya yang tertua menjadi Raja Linge XIV di negeri Linge menggantikan ayahnya.
Bener Merie dan Sengeda kemudian berangkat ke Tanah Gayo menemui abang dari ayahnya yaitu Raja Linge XIV. Malang nasib mereka, kedatangannya tidak diterima dengan baik oleh Raja Linge XIV, mereka dituduh telah membunuh ayahnya Raja Linge XIII. Kedua - duanya dijatuhi hukuman mati.
Bener Merie atas perintah Raja Linge XIV dibunuh, sedang pembunuhan Sengeda ditugaskan kepada Raja Cik Serule. Tetapi Raja Cik Serule tidak mau melaksanakan tugasnya, Sengeda disembunyikannya sehingga terlepas dari pembunuhan. Peristiwa ini terjadi pada masa Sultan
Aceh Alaidin Ria’yah II sedang berkuasa di Aceh tahun 1539-1571. Dalam suatu upacara di Kraton Aceh, yang dihadiri oleh seluruh raja-raja Aceh, Sultan memerintahkan kepada mereka untuk mencari “Gadjah Putih” yang dikabarkan terdapat di hutan-hutan Tanah Gayo, untuk dipersembahkan kepadanya.
Sultan akan memberikan hadiah kepada siapa yang menangkap dan menyerahkan gajah putih tersebut kepadanya. Walaupun dengan rasa kecewa Raja Linge XIV menyiapkan perutusan ke Darussalam untuk mempersembahkan gajah putih tersebut kepada Sultan. Dia tidak mengetahui bahwa yang menangkap gajah putih tersebut adalah Sengeda yang telah diperintahkannya untuk dibunuh. Upacara penyerahan gajah putih keadaan Sultan di Kraton Aceh, gajah putih yang semula direncanakan diserahkan oleh Raja Linge XIV kepada Sultan, gagal.. Gajah putih tersebut mengamuk, tidak mau dituntunnya. Sifatnya yang biasa jinak
telah berubah menjadi berang dan ganas, gajah putih mengejar-ngejar Raja Linge XIV. Raja ini hampir tewas saat gajah putih itu mengamuk.
Sengeda kemudian dapat menjinakkan gajah putih tersebut. Ia selanjutnya menyerahkannya kepada Sultan dengan tenang. Hal itu mengundang keheranan khalayak yang hadir. Sultan menanyakan apa rahasianya, saat didesak seperti itu, Sengeda terpaksa membongkar rahasia
kejahatan Raja Linge XIV yang telah membunuh abangnya Bener Merie. Mendengar keterangan Sengeda, Sultan murka. Ia segera memerintahkan menangkap Raja Linge XIV. Kemudian diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman mati.
Tetapi beruntung, bagi Raja Linge XIV, dia tidak jadi dihukum mati, karena ibu Sengeda dan Sengeda sendiri memberi maaf kepadanya di muka pengadilan, sehingga Sultan membatalkan hukuman mati tersebut. Hukumannya kemudian diperingan, ia diturunkan pangkatnya dan harus membayar Diyat atau semacam Denda. Setelah peristiwa gajah putih ini, Sultan mengangkat Sengeda menjadi Raja Linge ke XV menggantikan Raja Linge XIV yang khianat itu.
Kisah lain mengenai peristiwa “gajah putih” dan kisah “Sengeda” adalah versii yang ditulis seorang penyair Gayo bernama Ibrahim Daudi atau yang lebih terkenall Mude Kala dalam bentuk syair bahasa Gayo. Jalan ceritanya hampir sama. Namun, isinya jauh berbeda.
Perbedaan terpenting adalah, menurut tulisan M. Junus Djamil kisah “gajah putih” dan Sengeda
tersebut berhubungan dengan pengangkatan Sengeda menjadi Raja Linge XV, sedangkan kisah
dalam bentuk syair Gayo versi Mude Kala, kisah atau legenda gajah putih dan kisah Sengeda tersebut berhubungan dengan pembentukan “Kejurun Bukit” di Gayo Laut.
Menurut versi Mude Kala, karena jasanya menemukan gajah putih dan membongkar rahasia pembunuhan terhadap Bener Merie, maka Sengeda diangkat menjadi Raja Bukit pertama di Gayo Laut. Sengeda dianggap sebagai keturunan raja-raja Bukit selanjutnya.
Referensi : (Dari berbagai sumber)